Ditulis Oleh:
Naufal Mohamad Firdausyan, Ahmad Taqiyuddin, Akmal Shalahuddin, Qisha Quarina
Bidang Kajian Microeconomics Dashboard
Laboratorium Ilmu Ekonomi FEB UGM
Maret 2023
Ringkasan
- Isu kesehatan mental pekerja patut mendapatkan perhatian khusus, dikarenakan dampak negatif yang dapat ditimbulkan tidak hanya bagi penurunan produktivitas pekerja itu sendiri, tetapi juga dapat memengaruhi perekonomian secara makro.
- Hasil olah data SUSENAS periode Maret 2018-2020 mengindikasikan adanya penurunan persentase gangguan kesehatan mental yang dialami oleh pekerja, baik secara agregat maupun menurut jenis kelamin dan kohor kelahiran.
- Kajian ini menemukan perbedaan prevalensi gangguan kesehatan mental yang cukup signifikan berdasarkan generasi, dimana generasi baby boomers memiliki prevalensi gangguan kesehatan mental yang jauh lebih tinggi dibandingkan generasi muda, yaitu gen- Y/Milenial dan gen-Z.
- Peranan dan kolaborasi berbagai pihak baik dari pemerintah, pemberi kerja, maupun masyarakat merupakan faktor yang sangat penting dalam mencegah, meminimalisasi, dan mengatasi permasalahan gangguan kesehatan mental pekerja di Indonesia.
Isu Kesehatan Mental Pekerja: Apa dan Kenapa?
Kesehatan mental menjadi isu yang hangat diperbincangkan beberapa tahun belakangan ini dan tidak kalah pentingnya dengan isu pengangguran yang masih tinggi dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada tahun 2012 memperkirakan sekitar 20 persen orang dewasa usia kerja memiliki masalah kesehatan mental. Sementara itu, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2017, pekerja industri kecil dan menengah yang mengalami depresi dan insomnia masing-masing sebanyak 60,6 dan 57,6 persen. Lebih lanjut, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2018 menunjukkan prevalensi depresi bagi PNS/TNI/POLRI/BUMN/BUMD, Pegawai swasta, Wiraswasta, Petani/buruh tani, Nelayan, dan Buruh/sopir/pembantu ruta berturut-turut sebesar 2,4, 4,3, 5,1, 5,5, 6,9, dan 5,8 persen. Sementara itu, prevalensi gangguan mental emosional bagi PNS/TNI/POLRI/BUMN/BUMD, Pegawai swasta, Wiraswasta, Petani/buruh tani, Nelayan, dan Buruh/sopir/pembantu ruta berturut-turut sebesar 3,9, 6,3, 7,0, 9,7, 10,8, dan 9,7 persen. Kondisi ini dapat mengindikasikan bahwa masalah kesehatan mental di tempat kerja masih cukup diabaikan oleh beberapa perusahaan di Indonesia (Memish dkk., 2017).
Lalu, apa definisi sehat mental? World Health Organization (WHO) (2022) mendefinisikan kesehatan mental sebagai “a state of mental well-being that enables people to cope with the stresses of life, realize their abilities, learn well and work well, and contribute to their community”. Di Indonesia, Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa mendefinisikan kesehatan mental sebagai “kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya”. Lebih lanjut, WHO menyatakan bahwa kesehatan mental merupakan hak asasi manusia yang penting bagi perkembangan pribadi, masyarakat dan sosial-ekonomi.
Dalam kasus kesehatan mental bagi pekerja, data Mental Health America pada tahun 2019 menemukan bahwa hampir sembilan dari sepuluh pekerja global melaporkan bahwa stres dan tekanan di tempat kerja memengaruhi kesehatan mental mereka. Selain kondisi tempat kerja atau lingkungan tempat bekerja, penyebab gangguan kesehatan mental pada pekerja yang tidak kalah penting lainnya adalah jam kerja yang panjang (Deloitte, 2017). Jam kerja yang panjang (lebih dari 40 jam seminggu) berdampak pada peningkatan depresi, kecemasan, sulit tidur, dan penyakit jantung koroner. Studi lebih lanjut oleh Rojas dkk. (2019) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dapat mengganggu kesejahteraan mental di tempat kerja meliputi beban kerja yang berat, tenggat waktu dan target yang ketat, pembagian peran dan tanggung jawab antar pekerja yang tidak jelas, kontrol (monitoring) yang longgar, jam kerja yang panjang, tuntutan emosional-fisik-mental yang tinggi, kurangnya apresiasi dan feedback, serta adanya intimidasi atau diskriminasi dari atasan.
Adapun pentingnya perhatian terhadap masalah gangguan kesehatan mental di tempat kerja, seperti depresi dan kecemasan (anxiety), adalah dikarenakan pekerja yang mengalami gangguan kesehatan mental akan memberikan dampak pada jumlah jam kerja yang dihasilkan, meningkatnya absensi, dan pada akhirnya menurunkan produktivitas (de Oliveira dkk., 2022). Hamberg-van Reenen dkk. (2012) juga menemukan bahwa tempat kerja yang mampu mempromosikan kesehatan mental dengan baik dan memberikan bantuan atau dukungan kepada pekerjanya yang memiliki riwayat kesehatan mental, memiliki probabilitas dalam mengurangi jumlah penurunan hari kerja (absensi) dan penurunan produktivitas saat bekerja (presenteeism), sehingga meningkatkan produktivitas pekerja itu sendiri.
Lebih lanjut, kesehatan mental juga dinilai dapat merugikan perekonomian secara menyeluruh. World Health Organization (2022) menyebutkan bahwa terdapat potensi kerugian sebesar satu triliun USD per tahun akibat hilangnya produktivitas pekerja karena kesehatan mental pekerja yang buruk. Temuan-temuan ini mendorong perlunya urgensi untuk memberikan perhatian khusus dan penanganan terhadap isu kesehatan mental pekerja. Dalam hal ini, kondisi tempat atau lingkungan kerja yang tidak mendukung dapat menghambat produktivitas pekerja karena menimbulkan rasa ketidaknyamanan bagi pekerja, yang akhirnya akan berdampak negatif tidak hanya untuk pekerja itu sendiri, namun juga akan merugikan perusahaan dan perekonomian secara makro.
Berangkat dari permasalahan tersebut, kajian ini mencoba untuk melihat kondisi kesehatan mental bagi pekerja, khususnya di Indonesia. Metodologi yang digunakan ialah menggunakan analisis data deskriptif dan telaah literatur. Adapun gambaran data deskriptif akan menjabarkan tren kondisi kesehatan mental pekerja yang dianalisis dari data sekunder Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) periode Maret 2018-Maret 2020. Data SUSENAS dipilih karena terdapat informasi mengenai gangguan kesehatan yang dapat digunakan sebagai proksi kesehatan mental; selain itu, dari dataset ini penulis dapat mengidentifikasi individu yang merupakan ‘pekerja’, yaitu mereka yang berusia 15 tahun ke atas dan memiliki status bekerja. Dikarenakan keterbatasan data, periode analisis belum mampu memberikan gambaran kondisi kesehatan mental pekerja pada masa COVID-19. Hasil dari kajian ini diharapkan mampu memberikan evidence-based untuk menambah kajian literatur dan masukkan terhadap pentingnya kebijakan untuk mengatasi isu kesehatan mental pekerja di Indonesia.
Pemicu Kesehatan Mental Pekerja Indonesia
Sumber: travelphotographer dalam Pixabay.com
Berdasarkan beberapa telaah literatur, salah satu faktor yang memengaruhi kondisi kesehatan mental pekerja di Indonesia adalah jam kerja yang berlebih. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa jam kerja normal bagi pekerja adalah selama 40 jam/minggu. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2019 menunjukkan bahwa terdapat 29,01 persen pekerja yang bekerja lebih dari 48 jam/minggu; lebih lanjut, terdapat sekitar sepertiga dari penduduk perkotaan bekerja yang bekerja dengan jam kerja berlebih (lebih dari 48 jam/minggu). Kondisi ini relatif membaik di tahun 2022, dimana penduduk bekerja dengan jam kerja berlebih menurun menjadi 26,60 persen (SAKERNAS, 2022). Jam kerja yang panjang memiliki dampak negatif pada kesehatan pekerja seperti mudah marah, kelelahan, kecemasan, depresi, dan respon somatik yang lebih tinggi (Ramadani, 2021). Selain itu, di Indonesia kesadaran para pekerja dalam hal menuntut hak atas kelebihan jam kerja atau lembur masih kurang (Serikat Pekerja Nasional, 2019).
Selain jam kerja yang berlebih, faktor lain yang juga dapat memengaruhi kesehatan mental pekerja adalah jarak antara tempat tinggal dan tempat kerja. Menurut Schaefer (2005), pekerja yang melakukan mobilitas jarak jauh untuk bekerja (komuter) berpotensi mengalami stres dan efek kelelahan. Hal ini disebabkan komuter merupakan aktivitas rutin yang harus ‘tunduk’ pada lingkungan negatif seperti kemacetan lalu lintas, cuaca buruk, dan pencemaran udara (Feng & Boyle, 2014). Lebih lanjut, studi yang dilakukan oleh Evans dkk. (2022) menyebutkan bahwa para komuter yang melakukan perjalanan ke tempat kerja dengan menggunakan kereta api memiliki probabilitas terdampak stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan lain. Pada umumnya, perjalanan jauh ke tempat kerja cenderung jauh lebih melelahkan dan membuat stres daripada perjalanan pendek, terlepas dari apakah menggunakan transportasi umum atau pribadi, sehingga semakin panjang perjalanan ke tempat kerja akan meningkatkan dampak negatif bagi kesehatan (Evans dkk., 2002; Feng & Boyle, 2014). Namun, studi yang dilakukan oleh Feng dan Boyle (2014) ini menunjukkan bahwa perjalanan jauh ke tempat kerja yang dikaitkan dengan risiko tekanan mental hanya dialami oleh wanita. Hal ini disebabkan wanita terbiasa melakukan lebih banyak tugas rumah tangga dan mengasuh anak, sehingga mereka memiliki tingkat kepekaan yang lebih tinggi dibandingkan pria dalam hal terjadi kemacetan ketika melakukan perjalanan jauh (Feng & Boyle, 2014).
Pada kasus di Indonesia, khususnya wilayah Ibukota Jakarta dan sekitarnya, data Statistik Komuter Jabodetabek tahun 2019 menunjukkan bahwa 11,1 persen dari 29,3 juta penduduk Jabodetabek berusia 5 tahun ke atas merupakan komuter, dimana lebih dari 80 persen komuter merupakan individu bekerja. Sebesar 34,6 persen komuter menempuh lama perjalanan sekitar 30-59 menit dari tempat tinggal ke tempat kegiatan. Lebih lanjut, mayoritas komuter berangkat dari rumah pada pukul 06.00-07.59 pagi dan pulang kembali ke rumah pukul 18.00-23.59, dengan moda transportasi yang paling banyak digunakan adalah sepeda motor. Studi yang dilakukan Rosida (2019) menganalisis faktor perjalanan (seperti waktu tempuh, jarak tempuh, moda transportasi, dan status pengendara) dan karakteristik demografi-sosial-ekonomi terhadap kondisi kesehatan psikologis pekerja komuter di Jabodetabek, Mebidang, Sarbagita, Bandung Raya, dan Gerbangkertosusila, dimana ditemukan hasil bahwa faktor perjalanan berpengaruh terhadap kemungkinan pekerja komuter mengalami gangguan kesehatan psikologis akibat mobilitas ulang alik. Dalam studi ini, Rosida (2019) juga menemukan bahwa moda transportasi yang paling menyebabkan stres pada pekerja komuter adalah jenis kendaraan mobil, sebaliknya moda kereta tidak menyebabkan stres.
Bagaimana Gambaran Kondisi Kesehatan Mental Pekerja di Indonesia?
Bagian ini akan memaparkan deskriptif data kondisi kesehatan mental bagi pekerja (individu usia 15 tahun ke atas dengan status bekerja) berdasarkan data SUSENAS Maret 2018-2020. Adapun informasi yang digunakan sebagai proxy kondisi kesehatan mental adalah pertanyaan mengenai “gangguan mengingat/berkonsentrasi”, “gangguan perilaku/emosional”, dan “gangguan berbicara/memahami komunikasi dengan orang lain”. Proksi ini merujuk pada definisi yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI (2017), dimana orang yang kesehatan mentalnya terganggu akan mengalami gangguan dalam hal berpikir (berkonsentrasi), gangguan suasana hati, serta kendali emosi yang pada akhirnya dapat mengarah pada tindakan atau perilaku buruk. Lebih lanjut, kendali emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan stres dan dampak berikutnya ialah enggan berinteraksi atau sulit berkomunikasi dengan orang lain.
Gambar 1. Persentase Indikasi Gangguan Kesehatan Mental Pada Responden Bekerja
Sumber: SUSENAS Maret 2018, 2019, 2020
Gambar 2A. Persentase Indikasi Gangguan Kesehatan Mental Pada Responden Bekerja Wanita
Sumber: SUSENAS Maret 2018, 2019, 2020
Gambar 2B. Persentase Indikasi Gangguan Kesehatan Mental Pada Responden Bekerja Pria
Sumber: SUSENAS Maret 2018, 2019, dan 2020
Secara umum, Gambar 1 menunjukkan bahwa terjadi penurunan prevalensi gangguan kesehatan mental yang dialami oleh penduduk bekerja di Indonesia. Untuk gangguan mengingat/konsentrasi, terjadi penurunan sebesar 0,39 poin persentase dari tahun 2018 ke tahun 2020. Begitu pula pada gangguan perilaku/emosional dan gangguan berbicara/memahami komunikasi orang lain dengan penurunan, secara berturut-turut, sebesar 0,79 dan 0,08 poin persentase. Hasil yang sama juga ditemukan apabila gangguan ini diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin (Gambar 2). Gangguan mengingat/konsentrasi pada tahun 2018 memiliki prevalensi yang lebih tinggi pada wanita, tetapi berubah pada 2019 menjadi untuk pria, dan pada tahun 2020 kembali lebih tinggi untuk wanita. Untuk gangguan perilaku/emosional, awalnya prevalensi lebih tinggi terjadi pada pria. Namun menariknya, prevalensi ini menjadi mirip antara wanita dan pria pada tahun 2019 dan 2020, mengindikasikan bahwa terjadi konvergensi penurunan berdasarkan jenis kelamin khususnya pada gangguan perilaku/emosional. Penurunan juga terjadi pada gangguan berbicara/memahami komunikasi orang lain, tetapi pada ketiga periode tahun tersebut, prevalensinya sama-sama lebih tinggi untuk wanita dibandingkan pria.
Gambar 3. Persentase Indikasi Gangguan Kesehatan Mental Pada Responden Bekerja Berdasarkan Kohor Kelahiran Tahun 2018
Gambar 4. Persentase Indikasi Gangguan Kesehatan Mental Pada Responden Bekerja Berdasarkan Kohor Kelahiran Tahun 2019
Gambar 5. Persentase Indikasi Gangguan Kesehatan Mental Pada Responden Bekerja Berdasarkan Kohor Kelahiran Tahun 2020
Berdasarkan Gambar 3 sampai 5 di atas, terlihat bahwa generasi pekerja yang memiliki persentase gangguan kesehatan mental tertinggi, baik pada tahun 2018, 2019, maupun 2020, dialami oleh generasi pekerja baby boomer (pekerja yang lahir antara tahun 1946-1964). Kemudian, diikuti oleh generasi X (pekerja yang lahir antara tahun 1965-1980) pada urutan kedua, dan posisi ketiga dan keempat masing-masing adalah generasi Y atau Milenial (kohor pekerja kelahiran tahun 1981-1996) dan generasi Z (kohor kelahiran pekerja tahun 1997-2010) . Dengan demikian, hasil analisis berdasarkan kohor kelahiran menunjukkan bahwa kohor pekerja baby boomer merupakan generasi pekerja yang banyak mengalami gangguan kesehatan mental dibandingkan generasi lainnya, terutama generasi Milenial dan gen-Z.
Salah satu penjelasan untuk temuan di atas diantaranya adalah masih adanya stigma negatif yang kuat terhadap penderita gangguan kesehatan mental di kalangan generasi baby boomer (bahkan terus berlanjut hingga generasi Y atau Milenial) (American Psychological Association, 2019). Akibatnya, orang-orang lebih memilih untuk menahan dan menanggung beban gangguan tersebut secara sendiri dan tidak berusaha untuk mencari solusi penyelesaian dengan berkonsultasi kepada ahli (misalnya, psikolog atau psikiater) (Corrigan dkk., 2014). Sebaliknya, generasi Y (terutama generasi Milenial akhir) dan generasi Z yang berkembang dengan kemajuan teknologi dan prinsip keterbukaan, lebih terbuka akan kesehatan mental mereka dan berusaha untuk mengobatinya melalui layanan konseling, baik secara daring maupun luring (American Psychological Association, 2019). Selain itu, faktor lainnya yang menyebabkan angka gangguan kesehatan mental di kalangan generasi baby boomer lebih tinggi diantaranya adalah beban hidup yang lebih berat, kondisi kesehatan fisik yang menurun, pola makan yang buruk, adanya perubahan besar yang terjadi dalam hidup, dan sebagainya (Corrigan dkk., 2014).
Selanjutnya, gambaran umum lain yang dapat disimpulkan jika dilihat antar periode tahun 2018 sampai 2020. Gambar 3, 4, dan 5 di atas menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan persentase pekerja yang mengalami gangguan kesehatan mental untuk semua kalangan generasi dan di setiap jenis gangguan, sepanjang tahun 2018-2020. Adanya penurunan ini memberikan sinyal yang positif akan perbaikan kondisi kesehatan mental pekerja di Indonesia.
Siapa yang Perlu Berperan dalam Mengatasi Isu Kesehatan Mental Pekerja?
Hasil analisis data SUSENAS pada bagian sebelumnya menunjukkan indikasi perbaikan kondisi kesehatan mental pekerja di Indonesia pada periode antara tahun 2018-2020. Momentum ini perlu direspon secara positif, baik oleh pemerintah maupun pihak pemberi kerja, agar perbaikan ini dapat terus ditingkatkan dan mencegah potensi kerugian akibat menurunnya produktivitas pekerja dan dampak negatif lebih jauh terhadap perekonomian secara umum.
Peranan pemerintah sebagai pemangku kebijakan menjadi sangat penting dalam mempromosikan kesadaran kesehatan mental pekerja khususnya di Indonesia. Undang-undang No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa merupakan salah satu wujud komitmen Pemerintah Indonesia terhadap kesehatan mental di Indonesia. Dalam UU ini, antara lain diatur mengenai sistem pelayanan kesehatan jiwa, sumber daya dalam kesehatan jiwa, dan peran serta masyarakat. Selain itu, pada masa pandemi COVID-19, Pemerintah Indonesia juga berupaya untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan mental masyarakat salah satunya dengan meluncurkan aplikasi SEJIWA (Layanan Kesehatan Jiwa) untuk menjamin pemenuhan hak kesehatan mental masyarakat terutama pada masa pandemi. Aplikasi SEJIWA tersebut menyediakan layanan kesehatan jarak jauh (telemedisin) dimana pekerja dapat berkonsultasi dan melakukan konseling secara bebas biaya untuk mengatasi tekanan mental di tempat kerja. Dengan hadirnya aplikasi ini, diharapkan dapat membantu meringankan beban pekerja Indonesia dalam menjaga kesehatan mental agar dapat tetap produktif. Maka dari itu, pemerintah perlu untuk menggencarkan dan menyosialisasikan aplikasi tersebut kepada perusahaan-perusahaan dan pekerja agar SEJIWA semakin dikenali dan dapat dijadikan oleh pekerja sebagai layanan konsultasi kesehatan mental.
Selain pemerintah, peranan pemberi kerja dan masyarakat juga sangat penting. The Council of State Government (2022) memberikan beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan perusahaan sebagai pemberi kerja untuk mengantisipasi ancaman gangguan kesehatan mental para pekerja, diantaranya: 1) melakukan pemantauan secara berkala terkait standar operasional prosedur (SOP) perusahaan yang telah ditetapkan, seperti misalnya jam kerja maksimal delapan jam per hari, dukungan layanan kesehatan baik secara fisik maupun mental, serta pemantauan aktivitas dan mobilitas pekerja; 2) melibatkan serikat pekerja dalam pengambilan keputusan; 3) perusahaan perlu memperluas dukungan di tempat kerja. Bentuk dukungan di tempat kerja yang dapat dilakukan oleh perusahaan dapat berupa rangkaian strategi promosi dan perlindungan kesehatan yang terkoordinasi dan komprehensif untuk diterapkan di tempat kerja (The Council of State Government, 2022). Program-program tersebut dapat berupa kelas kebugaran untuk pekerja, kelas manajemen stress, program untuk membantu meningkatkan kualitas tidur, dan melanjutkan program teleterapi yang sudah digagas oleh pemerintah (The Council of State Government, 2022).
Adapun peranan masyarakat menurut UU No. 18 Tahun 2014 dapat dilaksanakan dalam bentuk 1) menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif; 2) memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai pencegahan gangguan jiwa; dan 3) menyediakan konseling bagi masyarakat yang membutuhkan. Lebih lanjut, menghilangkan stigma negatif terhadap gangguan kesehatan mental dan keterbukaan masyarakat dalam menghadapi isu tersebut sangat diperlukan karena dapat menyelamatkan dan mencegah terjadinya tindakan bunuh diri masyarakat (dalam hal ini pekerja) yang sedang mengalami gangguan kesehatan mental (Putri, 2021). Selain itu, edukasi masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan mental juga diperlukan karena melalui edukasi ini, seseorang akan cenderung lebih aware terhadap kesehatan mental dan memiliki life skill yang diperlukan untuk menghadapi situasi sulit seperti memiliki perilaku help seeking behavior yang tinggi dan coping skill yang efektif (Salerno, 2016). Dengan demikian, dukungan sosial diyakini dapat membantu atau menjadi penunjang untuk meningkatkan derajat kesehatan mental seseorang (Putri, 2021).
Kesimpulan dan Keterbatasan
Isu kesehatan mental pekerja perlu mendapat perhatian khusus, dikarenakan dampak negatif yang dapat ditimbulkan baik kepada pekerja itu sendiri, perusahaan, maupun perekonomian. Hasil kajian ini menemukan bahwa terdapat indikasi perbaikan prevalensi gangguan kesehatan mental yang dialami penduduk bekerja berdasarkan data SUSENAS periode Maret 2018-2020. Lebih lanjut, ditemukan pula bahwa generasi baby boomers memiliki prevalensi gangguan kesehatan mental yang paling tinggi dibandingkan generasi yang lebih muda seperti gen-Y/Milenial dan gen-Z. Hal ini dapat menjadi indikasi adanya perbaikan dan peningkatan akan kesadaran di antara generasi muda di Indonesia terkait isu kesehatan mental. Upaya bersama dalam pencegahan, meminimalisasi, dan mengatasi gangguan kesehatan mental bagi pekerja memerlukan peran berbagai pihak termasuk pemerintah, pemberi kerja, maupun masyarakat.
Adapun kajian ini masih memiliki keterbatasan khususnya dalam hal ketersediaan data yang terbatas dalam menganalisis isu kesehatan mental pekerja di Indonesia. Pertama, periode data yang digunakan belum mampu mengakomodir kondisi kesehatan mental pekerja pada masa pandemi COVID-19, walaupun beberapa studi terdahulu telah membahas terjadinya peningkatan isu kesehatan mental pekerja selama pandemi COVID-19 (lihat diantaranya Koch & Schermuly, 2021; Liu dkk., 2021; McKinsey, 2021; Phugat & Chitranshi, 2021). Selain itu, tipe gangguan mental yang dapat dianalisis dari dataset yang digunakan terbatas pada “gangguan mengingat/berkonsentrasi”, “gangguan perilaku/emosional”, dan “gangguan berbicara/memahami komunikasi dengan orang lain”, sedangkan jenis gangguan kesehatan mental yang lebih spesifik seperti depresi, anxiety, atau gangguan kesehatan mental yang disebabkan disrupsi perubahan lingkungan kerja belum dapat diukur dalam kajian ini.
Daftar Pustaka
American Psychological Association (2019). Survey: Americans Becoming More Open About Mental Health. Diakses pada 27 Februari 2023 dari https://www.apa.org/news/press/releases/apa-mental-health-report.pdf
Armour, P., Carman K.G., Mullen K.J., & Nataraj S. (2020). The COVID-19 Pandemic and the Changing Nature of Work: Lose Your Job, Show Up to Work, or Telecommute?. Diakses pada 18 Februari 2023 dari https://www.rand.org/pubs/research_reports/RRA308-4.html
Corrigan, Patrick & Druss, Benjamin & Perlick, Deborah. (2014). The Impact of Mental Illness Stigma on Seeking and Participating in Mental Health Care. Psychological Science in the Public Interest. 15. 37-70. 10.1177/1529100614531398.
Deloitte. (2017). At a Tipping Point? Workplace Mental Health and Wellbeing. Deloitte Center for Health Solutions.
de Oliveira, C., Saka, M., Bone, L., & Jacobs, R. (2023). The Role of Mental Health on Workplace Productivity: A Critical Review of the Literature. Applied health economics and health policy, 21(2), 167–193. https://doi.org/10.1007/s40258-022-00761-w
Evans, G. W., Wener, R. E., & Phillips, D. (2002). The morning rush hour: Predictability and commuter stress. Environmental Behavior, 34, 521-530.
Feng, Zhiqiang & Boyle, Paul. (2014). Do Long Journeys to Work Have Adverse Effects on Mental Health?. Environment and Behavior. 46. 609-625. 10.1177/0013916512472053.
Hamberg-van Reenen, H. H., Proper, K. I., & van den Berg, M. (2012). Worksite mental health interventions: a systematic review of economic evaluations. Occupational and environmental medicine, 69(11), 837–845. https://doi.org/10.1136/oemed-2012-100668
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). TEMPAT KERJA RAWAN BIKIN SETRES. Diakses pada 2 Maret 2023 dari https://www.kemkes.go.id/article/view/17100900008/tempat-kerja-rawan-bikin-stres.html
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2021). LAYANAN SEJIWA LINDUNGI KESEHATAN MENTAL MASYARAKAT DI MASA PANDEMI COVID-19. Diakses pada 27 Februari 2023 dari https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3178/layanan-sejiwa-lindungi-kesehatan-mental-masyarakat-di-masa-pandemi-covid-19
Koch J., & Schermuly CC. (2021). Managing the crisis: how COVID-19 demands interact with agile project management in predicting employee exhaustion. Brit J Manage. 2021:1–19. https://doi.org/10.1111/1467-8551.12536
Liu, W., Xu, Y., & Ma, D. (2021). Work-Related Mental Health Under COVID-19 Restrictions: A Mini Literature Review. Frontiers in public health, 9, 788370. https://doi.org/10.3389/fpubh.2021.788370
McKinsey Global Institute. (2021). The future of work after COVID-19. Diakses pada 21 Februari 2023 dari https://www.mckinsey.com/featured-insights/future-of-work/the-future-of-work-after-covid-19
Memish, K., Martin, A., Bartlett, L., Dawkins, S., Sanderson, K. (2017). Workplace mental health: an international review of guidelines. Prev. Med. 101, 213–222.
Mental Health America (2021). Mind the Workplace – MHA Workplace Health Survey. Diakses pada 27 Februari 2023 dari https://mhanational.org/sites/default/files/Mind%20the%20Workplace%20-%20MHA%20Workplace%20Health%20
Organization for Economic Co-operation and Development. (2012). Sick on the job?: Myths and Realities about Mental Health and Work. OECD Publishing, Paris.
Phugat N., & Chitranshi J. (2021). The effect of COVID-19 over employees’ mental health—a review. J Pharm Res Int. 33:104– 10. https://doi.org/10.9734/jpri/2021/v33i37B32027
Putri, V. M. (2021). Kewajiban Masyarakat Menerima Edukasi Kesehatan Mental. https://doi.org/10.31219/osf.io/2rhau
Ramadani, K.D. (2021). HUBUNGAN JAM KERJA DAN KESEHATAN PEKERJA DI INDONESIA. Jurnal Kesmas (Kesehatan Masyarakat) Khatulistiwa. 8. 33. 10.29406/jkmk.v8i1.2638.
Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018. (2019). Diterbitkan oleh Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (LPB) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Rojas G., Martínez V., Martínez P., Franco P., & Jiménez-Molina Á. (2019). Improving mental health care in developing countries through digital technologies: a mini narrative review of the Chilean case. Frontiers in public health, 7,391. https://doi.org/10.3389/fpubh.2019.00391
Rosida, Ismatulloh. (2019). Analisis Pengaruh Mobilitas Ulang Alik Pada Kesehatan Psikologis Pekerja Komuter di Indonesia. Tesis, Universitas Airlangga.
SAKERNAS, (2019). Booklet Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2019, Badan Pusat Statistik: Jakarta.
SAKERNAS, (2022). Booklet Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2019, Badan Pusat Statistik: Jakarta.
Salerno, J.P. (2016). Effectiveness of Universal School-Based Mental Health Awareness Programs Among Youth in the United States: A Systematic Review. J School Health, 86: 922-931. https://doi.org/10.1111/josh.12461
Statistik Komuter Jabodetabek, (2019). Badan Pusat Statistik: Jakarta.
The Council of State Government. (2022). Addressing the Mental Health Needs of Workers Throughout and Beyond the COVID-19 Pandemic. Diakses pada 27 Februari 2023 dari 2022https://seed.csg.org/wp-content/uploads/2022/01/Accessible-2021_SEED_WorkersMentalHealth_Report-11_22.pdf
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. LL Sekretariat Negara: 41 Hlm. Jakarta.
World Health Organization. (2022). Mental health at work. Diakses pada 27 Februari 2023 dari https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-health-at-work
World Health Organization. (2022). Mental health. Diakses pada 4 Maret 2023 dari https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-health-strengthening-our-response