Ditulis Oleh:
Wan Hasjim Omar Jacob Saleh, Ester Dwi Sabtu, Ahmad Taqiyuddin, Qisha Quarina
Bidang Kajian Microeconomics Dashboard
Laboratorium Ilmu Ekonomi FEB UGM
April 2023
Highlights:
- Teori ekonomi pernikahan dikembangkan pertama kali oleh Gary Becker pada 1973.
- Eksklusivitas dalam relasi pernikahan dibagi menjadi dua, yaitu monogami dan poligami; dimana keduanya dipengaruhi antara lain oleh faktor budaya, agama, sosial, ekonomi, maupun demografi.
- Poligami dibagi menjadi dua, yaitu poligini dan poliandri; poligini merupakan rumah tangga dengan satu suami dan lebih dari satu istri, sedangkan poliandri merupakan rumah tangga dengan satu istri dan lebih dari satu suami.
- Secara umum, pernikahan poligini cenderung memiliki karakteristik seperti berasal dari status sosial ekonomi yang relatif rendah dan terjadi pada wanita dengan pendidikan rendah.
- Mayoritas studi empiris terdahulu menunjukkan bahwa praktik poligini berdampak negatif terhadap kesejahteraan keluarga, istri, dan outcome anak; namun, terdapat pula beberapa penelitian yang menunjukkan dampak positif dari praktik pernikahan poligini.
© Microeconomics Dashboard Laboratorium Ilmu Ekonomi FEB UGM. Dilarang menyebarkan dan/atau menggandakan sebagian atau seluruh isi kajian ini untuk tujuan komersial tanpa izin dari Microeconomics Dashboard Laboratorium Ilmu Ekonomi FEB UGM.
Pendahuluan
Diskursus mengenai eksklusivitas relasi dalam pernikahan masih terjadi. Eksklusivitas dalam relasi pernikahan dibagi menjadi dua, yaitu monogami dan poligami. Pernikahan monogami dan poligami dipengaruhi antara lain oleh faktor budaya, agama, sosial, ekonomi, maupun demografi, dimana secara bersamaan akan memiliki implikasi terhadap proses pengambilan keputusan dalam rumah tangga, fertilitas, dan child outcomes seperti pendidikan dan kesehatan anak (Kaunza et al., 2022; Rossi, 2018; Strassmann, 2017). Dalam mengkaji isu-isu monogami dan poligami, khususnya poligami, memerlukan dasar teori yang kuat karena permasalahan poligami cukup berbeda dengan monogami. Istri-istri dalam pernikahan poligami, sebagai contoh, dapat mengalami jealousy dalam hal afeksi dan sumber materi dari suami (Adam & Mburugu, 1994; Bahari et al., 2021). Untuk itu, kajian pada edisi kali ini bertujuan untuk mendiskusikan latar belakang teori the economics of marriage, khususnya teori pernikahan poligami, dan studi-studi empiris terdahulu sebagai pengantar kajian topik pernikahan lebih lanjut.
Secara umum, pernikahan monogami merupakan relasi yang menggambarkan eksklusivitas secara seksual dan emosional, dalam kehidupan yang saling berbagi, termasuk berbagi dalam hal sosial, legal, dan finansial (Lee & Sullivan, 2019). Monogami berkembang di budaya Barat bahkan dianggap sebagai standar pernikahan. Pasangan pernikahan terdiri dari dua orang yang berkomitmen dalam pernikahan untuk saling menjaga, memenuhi kebutuhan hidup dan batiniah, serta mengatasi berbagai masalah, termasuk dalam permasalahan alokasi sumber daya. Sementara itu, pernikahan poligami terdiri dari seorang suami dan beberapa istri atau pasangan lain (Demographic and Health Survey, 2017). Poligami sendiri dibagi menjadi dua, yaitu poligini dan poliandri. Poligini merupakan rumah tangga poligami yang terdiri dari satu suami dan lebih dari satu istri. Sedangkan, poliandri merupakan rumah tangga poligami yang terdiri dari satu istri dan lebih dari satu suami. Berdasarkan definisi tersebut, ukuran keluarga rumah tangga poligami akan lebih banyak daripada keluarga monogami, ceteris paribus. Secara khusus dalam kajian ini yang mengambil konteks di Indonesia, akan dibahas poligami dalam bentuk poligini, karena praktik poliandri ilegal secara agama dan hukum. Berdasarkan Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 (a) dan (b) menjelaskan bahwa perempuan tidak dapat melangsungkan pernikahan selama masih memiliki ikatan pernikahan dengan pria lain. Meskipun hukum perkawinan dalam Undang-Undang Tahun 1974 berlandaskan pada pernikahan monogami, akan tetapi dalam Pasal 3 disebutkan perizinan bagi laki-laki untuk memiliki istri lebih dari satu dengan syarat-syarat tertentu. Atas dasar legalitas tersebut, penelitian ini hanya akan meneliti poligini.
Statistik global menunjukkan bahwa hanya sekitar 2% penduduk yang menikah dengan lebih dari satu orang (Pew Research Center, 2020). Di China, sebanyak 34,1% individu percaya dapat melakukan pernikahan monogami, dan hanya sekitar 5% yang percaya dapat melakukan pernikahan poligami (Statista, 2021). Sementara itu, praktik poligami di negara-negara Afrika Barat dan Tengah cukup marak terjadi, dan mayoritas terjadi pada kelompok adat (45%) (Pew Research Center, 2020). Perbedaan gambaran secara statistik antar negara ini tidak terlepas dari perbedaan faktor budaya, agama, hukum, dan kondisi sosial di masing-masing negara. Di Amerika Serikat, misalnya, pernikahan yang dilakukan setelah atau saat sedang menikah dengan orang lain merupakan suatu pelanggaran hukum tingkat rendah berdasarkan Edmunds Anti-Polygamy Act of 1882 (Pew Research Center, 2020; Cornell Law School, 2022). Sebaliknya, di wilayah mayoritas muslim, seperti Asia dan Timur Tengah, praktik poligami adalah legal, akan tetapi praktik poligami justru tidak terlalu banyak ditemukan (Pew Research Center, 2020).
Gambar 1. Persentase individu yang melakukan poligami di dunia
Sumber : Pew Research Center (2020)
Dapat dilihat pada gambar di atas bahwa prevalensi poligami tertinggi ada di Benua Afrika dengan Burkina Faso menjadi negara dengan prevalensi poligami tertinggi di wilayah tersebut. Pada kasus Indonesia, dengan negara mayoritas penduduk Muslim, poligami tidak terlalu banyak ditemukan. Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, hanya sekitar 0,4% dari laki-laki berumur 15-54 tahun memiliki lebih dari satu istri. Walaupun demikian, secara hukum di Indonesia, pernikahan poligami dilegalisasi dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974.
Kajian Teoritis
The demand for wives
Teori ekonomi pernikahan dikembangkan pertama kali oleh Gary Becker pada 1973 yang tertuang dalam magnum opus-nya “A Treatise on the Family” pada tahun 1981. Menurut Becker, pernikahan merupakan pilihan dari laki-laki maupun perempuan. Jika menikah memberikan benefit yang lebih besar daripada tidak menikah, seseorang akan menikah, begitupun sebaliknya. Benefit yang dimaksud tidak hanya benefit uang atau barang fisik, namun juga benefit lain seperti rasa kasih sayang dan altruisme. Terkait jenis pernikahan monogami dan poligami, keduanya dapat dijelaskan dari konsep marginal benefit dan pasar permintaan serta penawaran pernikahan.
Menurut Becker (1973), dalam kondisi monogami, keseimbangan yang efisien terjadi jika jumlah laki-laki dan perempuan sama karena semua orang akan menikah pada kondisi ini. Jika jumlah laki-laki lebih besar daripada jumlah perempuan, semua perempuan akan menikah, namun tidak semua laki-laki akan menikah. Laki-laki yang tidak menikah adalah laki-laki yang memiliki benefit lebih besar jika single daripada menikah.
Hasil yang berbeda akan terjadi jika berada di kondisi poligini. Dalam kondisi poligini – dimana seorang laki-laki dapat menikahi banyak istri –, keseimbangan akan menjadi efisien jika jumlah perempuan lebih dari atau sama dengan jumlah laki-laki. Hal ini karena meskipun seluruh laki-laki sudah mendapatkan seorang istri, laki-laki dapat menikahi perempuan lain. Keputusan suami untuk menikah lagi bergantung kepada tambahan (marginal) benefit menikah lagi. Secara umum, tambahan benefit menambah istri lagi akan lebih kecil daripada tambahan benefit menikahi istri pertama. Penurunan benefit ini juga akan berlaku dengan penambahan istri selanjutnya. Keseimbangan akan terjadi jika semua orang menikah dan ada laki-laki yang memiliki lebih dari satu istri.
Model Becker memiliki asumsi, yaitu seluruh laki-laki dan perempuan pada “pasar” pernikahan bersifat identik. Sehingga, seluruh orang tidak memiliki keunggulan seperti kecantikan, dan lain-lain. Di sini juga diasumsikan bahwa laki-laki dan perempuan bersifat komplementer sehingga jumlah benefit dari pernikahan kedua orang akan lebih besar daripada penjumlahan benefit perempuan single dan laki-laki single. Hal ini karena dalam sebuah pernikahan, laki-laki dapat berinvestasi terhadap kegiatan produksi pasar (misalnya bekerja) sementara perempuan dapat berinvestasi terhadap kegiatan produksi rumah tangga (contohnya, membuat makanan untuk keluarga dan mengurus anak).
Model poligini selanjutnya adalah model poligini oleh Grossbard (1976). Di dalam model ini, perempuan “menawarkan” pekerjaan rumah tangga dan laki-laki “meminta” pekerjaan rumah tangga. Titik keseimbangan dapat dilihat dari kurva permintaan dan penawaran berikut.
Grafik 1. Permintaan dan Penawaran Jam Kerja Istri
Sumber: Grossbard (1976, pp. 703)
Sumbu vertikal mengukur kompensasi yang dibutuhkan istri dan diberikan suami, sementara sumbu horizontal merupakan jumlah jam kerja istri dalam rumah tangga. Dapat dilihat bahwa permintaan pekerjaan rumah tangga akan menurun seiring meningkatnya kompensasi yang diberikan kepada istri (downward-sloping). Kompensasi yang diberikan kepada istri di sini tidak hanya berupa uang, namun bisa juga berupa kasih sayang dan waktu bersama keluarga. Penawaran pekerjaan rumah tangga oleh istri akan meningkat seiring meningkatnya kompensasi yang diberikan atas pekerjaan rumah tangga. S1 merupakan penawaran jam kerja istri yang ditawarkan seorang istri. Jika ada dua istri, kurva ini akan dijumlahkan secara horizontal (horizontal summation) sehingga membentuk kurva S2. Dalam grafik di atas, keseimbangan satu istri adalah (h1,w1), sementara keseimbangan dua istri adalah (h2,w2).
Menurut Grossbard, keseimbangan dapat dicapai jika kita menjumlahkan seluruh permintaan dan penawaran menjadi agregat. Perpotongan agregat penawaran dan permintaan jam kerja istri akan menciptakan titik keseimbangan antara kompensasi dan jam kerja istri. Misalkan grafik di atas merupakan grafik permintaan seorang laki-laki. Jika kompensasi keseimbangan berada di antara w1 dan w2, laki-laki tersebut sanggup untuk menikahi istri pertama, namun tidak akan sanggup untuk menikahi istri kedua. Jika keseimbangan kompensasi berada di atas w1, laki-laki tersebut tidak dapat menikah. Sedangkan jika keseimbangan kompensasi berada di bawah w2, laki-laki tersebut akan melakukan poligini.
Dengan model ini kita juga dapat melihat karakteristik suami dan istri yang melakukan poligini. Salah satunya adalah dampak kekayaan suami terhadap jumlah istri. Jika suami semakin kaya, kurva permintaan akan bergeser ke kanan. Artinya, jumlah pekerjaan rumah tangga yang sama akan diberikan kompensasi yang lebih tinggi dari suami yang lebih kaya. Pendidikan suami juga dapat meningkatkan jumlah istri karena pendidikan tinggi dapat meningkatkan produktivitas dan upah.
Sementara itu, pendidikan istri dapat mengurangi probabilitas masuk ke dalam poligini. Peningkatan pendidikan istri akan meningkatkan upah dan produktivitas. Sehingga, opportunity cost istri untuk bekerja dalam rumah tangga poligini akan meningkat dan menggeser kurva penawaran pekerjaan rumah tangga ke kiri. Model ini merelaksasikan beberapa asumsi yang dibuat Becker pada model sebelumnya. Pada model ini, jumlah laki-laki dan perempuan tidak berpengaruh secara langsung terhadap poligini. Sehingga, poligini dapat berlaku bahkan jika jumlah laki-laki lebih kecil daripada jumlah perempuan. Namun, diasumsikan bahwa pada rumah tangga poligini waktu kerja antar istri bersifat substitusi. Jika sifat waktu kerja antar istri bersifat komplementer (khususnya bagi dua istri yang memiliki tingkat pendidikan yang berbeda) dampak karakteristik istri (seperti pendidikan) berbeda dari sebelumnya.
Beberapa model lain mengenai poligini dikembangkan lagi seiring berjalannya waktu, namun sebagian besar model merupakan modifikasi dari model Becker dan Grossbard. Tertilt (2005) mengembangkan model poligini antar generasi. Model lain dikembangkan oleh De La Croix dan Mariani (2015) yang melihat dampak keadaan ekonomi terhadap poligini secara historis. Model-model pada beberapa paragraf sebelumnya melihat bagaimana ekonomi dapat menjelaskan keputusan laki-laki dan perempuan untuk melakukan poligini. Meskipun berbagai limitasi, model ini selalu berkembang menjadi lebih baik.
Kajian Empiris
Norm and culture of polygyny in the third world countries
Praktik poligini tidak terjadi di seluruh negara dan biasanya hanya terbatas pada beberapa wilayah tertentu (Pew Research Center, 2020). Misalnya, di Amerika Serikat terdapat undang-undang yang melarang pernikahan ketika sudah dan/atau sedang menikah dengan orang lain meskipun dikategorikan sebagai pelanggaran tingkat rendah yang tidak dapat dihukum dengan hukuman penjara (Pew Research Center, 2020). Sementara itu, di wilayah Timur Tengah dan Asia, poligini merupakan hal yang tidak dilarang (legal) tetapi tidak dipraktikkan secara luas (Pew Research Center, 2020). Lebih lanjut, poligini yang merupakan persatuan pernikahan antara seorang pria dan lebih dari satu pasangan adalah hal biasa dan jumlahnya tersebar luas di negara-negara Afrika sub-Sahara (Smith-Greenaway & Trinitapoli, 2014).
Berdasarkan data yang dirilis oleh Pew Research Center pada tahun 2020, hanya sekitar dua persen dari populasi global hidup dalam rumah tangga poligini. Hal ini disebabkan praktik poligini yang dilarang oleh sebagian besar negara-negara dunia dan Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (KHAM-PBB) juga telah mengatakan bahwa praktik poligini melanggar martabat wanita dan menyerukan agar praktik poligini ini dapat dihapuskan. Namun, seruan KHAM-PBB ini seringkali terhalang oleh batasan dalam administrasi pernikahan dimana banyak pernikahan yang diatur oleh hukum agama atau adat. Dengan kata lain, pengawasan terkait praktik pernikahan poligini lebih banyak dilakukan oleh tokoh masyarakat dan sejenisnya (Al-Krenawi & Graham, 2006).
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa praktik poligini banyak ditemukan di Afrika sub-Sahara dimana sebelas persen populasinya hidup dalam rumah tangga yang terdiri satu orang suami dan beberapa istri (Pew Research Center, 2019). Adapun negara-negara dengan jumlah praktik poligini terbesar ini diantaranya ialah Burkina Faso (36 persen), Mali (34 persen), dan Nigeria (28 persen). Sementara itu, negara-negara yang mengizinkan praktik poligini mayoritas beragama Islam seperti Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, Iran, Mesir, Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, termasuk Indonesia dimana praktik ini bersifat legal (Pew Research Center, 2019). Namun, kondisi berkebalikan terjadi di Chad, dimana 21 persen umat Kristiani lebih mungkin hidup dalam rumah tangga poligini daripada umat Muslim yang hanya mencapai 10 persen. Dengan demikian, agama memiliki peran dalam bagaimana poligini diatur dan dipraktikkan dalam suatu negara (Jansen & Agadjanian, 2020).
Undang-undang poligini biasanya condong mengizinkan pria untuk memiliki banyak pasangan, dan hal ini tidak berlaku bagi wanita. Alasan yang mendasari kondisi ini dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Becker (1973). Becker dalam analisisnya mengatakan bahwa salah satu tujuan seorang pria dan wanita menikah ialah memiliki anak atau keturunan. Dengan demikian, tujuan memiliki anak ini cukup untuk menjelaskan mengapa perkawinan antara satu wanita dengan beberapa pria jarang terjadi karena akan sulit untuk mengidentifikasi ayah dari anak tersebut (Becker, 1973). Sementara itu, perkawinan antara satu pria dengan beberapa wanita tidak mengalami ‘kecacatan’ seperti itu, sehingga pernikahan poligini lebih umum terjadi dan legal (Becker, 1973).
Socio, economic, demography characteristics
Secara historis, poligini merupakan fenomena status sosial-ekonomi yang tinggi dan biasanya dipraktikkan di keluarga kerajaan dan bangsawan atau di antara pedagang dengan penghasilan tinggi yang mampu menghidupi banyak istri dan anak (Pesando & Behrman, 2019). Lebih lanjut, institusi poligini melayani fungsi sosial dan ekonomi dengan menyediakan tenaga kerja untuk sektor pertanian serta memperkuat aliansi perkawinan antara keluarga dan suku yang berbeda (Boserup et al., 2013). Selain itu, poligini juga seringkali menjadi tolak ukur yang penting dalam status sosial di masyarakat dengan anggapan bahwa kekayaan diukur dengan memiliki banyak keturunan (Bernardi, 2007). Hal ini dibuktikan dengan pernikahan poligini di Timur Tengah pada awal abad ke-17 dimana pria yang sangat kaya seringkali memiliki antara tiga sampai sepuluh istri; dengan karakteristik istri pertama berstatus lebih tinggi dan bertugas menjalankan rumah tangga sedangkan istri berstatus lebih rendah berpartisipasi dalam pekerjaan pertanian dan membantu tugas rumah tangga lainnya (Pesando & Behrman, 2019). Namun, keadaan berbeda justru terjadi di Afrika sub-Sahara, sebagai wilayah dengan tingkat pernikahan poligini tertinggi, rata-rata rumah tangganya berada dalam status sosial ekonomi yang lebih rendah dengan kecenderungan lebih banyak tinggal di daerah perdesaan (Jewkes, 2005).
Selain itu, terdapat perbedaan tingkat pendidikan dimana poligini paling tinggi terjadi pada wanita dengan pendidikan rendah, dan sebaliknya wanita berpendidikan tinggi memiliki kemungkinan yang lebih rendah berada dalam rumah tangga poligini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pesando dan Behrman (2019), poligini di kalangan wanita berpendidikan rendah adalah sekitar 20% di Afrika Selatan, 30% di Afrika Timur, 40% di Afrika Tengah, dan 55% di Afrika Barat. Namun, terdapat perbedaan persentase antar kohor kelahiran wanita berpendidikan rendah ini, dimana 55% wanita kelahiran 1935-1950 yang berpendidikan rendah berada dalam rumah tangga poligini, sedangkan hanya 25% untuk wanita berpendidikan rendah yang lahir antara tahun 1990-2000. Meskipun demikian, secara umum wanita berpendidikan rendah memiliki prevalensi poligini sekitar dua kali lebih tinggi daripada wanita berpendidikan tinggi baik pada kelompok kelahiran yang lebih tua maupun yang lebih muda.
Dampak dari praktik poligini terhadap keluarga dan kesejahteraan
Mayoritas studi empiris terdahulu menunjukkan bahwa praktik poligini berdampak negatif terhadap kesejahteraan keluarga, istri, dan outcome anak. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh de Laiglesia dan Morrision (2008) menunjukkan bahwa praktik poligini berdampak buruk pada kekayaan perkapita rumah tangga dibandingkan rumah tangga monogami. Hal ini disebabkan rumah tangga poligini biasanya memiliki anak yang lebih banyak dan di satu sisi istri-istri pada rumah tangga poligini tidak bekerja (De Laiglesia dan Morrison, 2008; Diarra et al., 2018). Oleh karena itu, pendapatan rata-rata per orang dalam keluarga poligini lebih rendah daripada pendapatan keluarga monogomi karena hanya kepala rumah tangga (ayah) yang bekerja (Diarra et al., 2018). Dengan demikian, pendapatan yang rendah ini biasanya dikaitkan dengan ketidakbahagiaan dalam keluarga, rendahnya pendidikan anak, intoleransi orang tua, masalah kesehatan pada anak, dan depresi pada anak-anak (Seccombe, 2000).
Lebih lanjut, suami seringkali mendiskriminasikan istri pertamanya dalam hal memberikan perhatian dan redistribusi pendapatan di dalam rumah tangga (Diarra et al., 2018). Biasanya, tindakan diskriminasi dalam rumah tangga poligini menurut studi yang dilakukan oleh Diarra et al. (2018) ialah ketika sang ayah kurang memberikan perhatian kepada anak-anak dari istri pertamanya. Ketidakhadiran ayah dalam tumbuh kembang anak ini dapat menyebabkan hasil akademik yang buruk pada anak (Diarra et al., 2018). Selain itu, anak-anak dalam keluarga poligini lebih cenderung untuk menyaksikan konflik atau pertikaian rumah tangga akibat rasa cemburu ibu mereka terhadap istri lainnya dibandingkan dengan keluarga monogami (Elbedour et al., 2007). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketidakbahagiaan istri dalam keluarga poligini juga turut berdampak negatif pada anak-anak khususnya dalam hal psikologis yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan dan pendidikan mereka. Bahkan, penelitian yang dilakukan oleh Gibson dan Mace (2007) untuk kasus poligini di Ethiopia, istri pertama pada umumnya lebih tidak bahagia daripada istri kedua dan selanjutnya, sehingga berpengaruh negatif juga terhadap kesehatan mental anak-anaknya.
Meskipun jumlahnya masih sangat terbatas, terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa praktik poligini memiliki dampak positif. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Moller dan Welch (1985) terhadap para pekerja migran Zulu menemukan bahwa praktik poligini memiliki beberapa insentif atau manfaat yang dirasakan dalam keluarga seperti terciptanya stabilitas pendapatan keluarga, kesejahteraan dan keberlanjutan ekonomi dalam keluarga, kesejahteraan spiritual, adanya sebuah prestige dan kebanggaan bagi laki-laki, stabilitas sosial dan ekonomi bagi perempuan, serta membangun kekuatan politik. Lebih lanjut, praktik poligini dapat meningkatkan status sosial bagi beberapa pekerja migran karena mampu memfasilitasi tercapainya kehidupan yang berkualitas (Moller dan Welch, 1985). Kemudian, dengan adanya praktik poligini, dapat mengurangi angka prostitusi di jalanan karena menawarkan pernikahan kepada perempuan di Malaysia yang menganggap bahwa prostitusi jalanan sebagai sumber pendapatan mereka (Yasin & Jani, 2013). Terakhir, Duncan (2008) dalam penelitiannya mengatakan bahwa praktik poligini dapat mengurangi jumlah anak yatim yang terlantar, sehingga kesejahteraan anak-anak yatim tersebut dapat meningkat.
Penutup
Kajian edisi pertama untuk topik the economics of marriage ini berusaha mengulas landasan teori dan beberapa studi terdahulu terkait pernikahan poligini dan dampaknya terhadap keluarga. Secara umum, bentuk pernikahan, baik monogami maupun poligami, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti budaya, agama, hukum, dan sosial-ekonomi. Selain itu, terdapat karakteristik tertentu dari individu yang melakukan pernikahan poligini. Seperti contohnya di kawasan Afrika, wanita berpendidikan rendah memiliki kemungkinan dua kali lebih tinggi untuk berada dalam rumah tangga poligini dibandingkan wanita berpendidikan tinggi. Selain itu, pernikahan poligini juga memiliki dampak negatif, khususnya bagi kesejahteraan keluarga, istri, dan kualitas anak.
Pada kajian selanjutnya, penulis akan membahas lebih spesifik untuk studi kasus Indonesia. Dalam hal ini, penulis akan mendiskusikan secara lebih rinci mengenai fenomena pernikahan poligami, khususnya poligini, di Indonesia dan dampak yang ditimbulkan pada anak dalam keluarga poligini. Secara khusus, penulis akan melihat statistik deskriptif perbandingan antara keluarga poligini (poligini) dan keluarga monogami.
Referensi
Adams, B. N., & Mburugu, E. (1994). Kikuyu Bridewealth and Polygyny Today. Journal of Comparative Family Studies, 25(2), 159–166. http://www.jstor.org/stable/41602318
Al-Krenawi, A., & Graham, J. R. (2006). A comparison of family functioning, life and marital satisfaction, and mental health of women in polygamous and monogamous marriages. International Journal of Social Psychiatry, 52(1), 5–17.
Becker, G. S. (1973). A Theory of Marriage: Part I. Journal of Political Economy, 81(4), 813–846. http://www.jstor.org/stable/1831130
Bernardi, Laura. (2007). Jennifer Johnson-Hanks (ed.), Uncertain Honor. Modern Motherhood in an African Crisis: The University of Chicago Press, Chicago, 2006, XV + 301 pp. European Journal of Population/ Revue europenne de Dmographie. 23. 10.1007/s10680-007-9118-6.
Boserup, E., Tan, S. F., & Toulmin, C. (2013). Woman’s Role in Economic Development. Routledge.
China: Willingness to commit to one romantic partner for life 2021. (n.d.). Statista. Retrieved March 25, 2023, from https://www.statista.com/statistics/1344053/china-willingness-to-commit-to-one-romantic-partner-for-life/
Cornell Law School. (2022). Edmunds Anti-Polygamy Act of 1882. https://www.law.cornell.edu/wex/edmunds_anti-polygamy_act_of_1882#:~:text=The%20Edmunds%20Act%20suppressed%20different,on%20juries%20in%20federal%20territories.
de Laiglesia, J. and C. Morrison. (2008). Household Structures and Savings: Evidence from Household Surveys. OECD Development Centre Working Papers, No. 267. Statistical
De La Croix, David, dan Fabio Mariani. (2015). From Polygyny to Serial Monogamy: A Unified Theory of Marriage Institutions. The Review of Economic Studies 82 (2 (291)): 565–607.
Diarra, Setou & Lebihan, Laetitia & Mao Takongmo, Charles Olivier. (2018). Polygyny, Child Education, Health and Labour: Theory and Evidence from Mali. SSRN Electronic Journal. 10.2139/ssrn.3234373.
Duncan, E.J. (2008). The Positive Effects of Legalizing Polygamy: “Love is a Many Splendored Thing”. 15 Duke Journal of Gender Law & Policy 315-338. https://scholarship.law.duke.edu/djglp/vol15/iss1/3
Elbedour, S., Bart, W. & Hektner, J. (2007). The relationship between monogamous/polygamous family structure and the mental health of bedouin arab adolescents. Journal of adolescence, 30 (2), 213-230.
Gibson, M. A., & Mace, R. (2007). Polygyny, reproductive success and child health in rural Ethiopia: why marry a married man? Journal of Biosocial Science, 39, 287 – 300. https://doi.org/10.1017/S0021932006001441
Grossbard, A. (1976). An Economic Analysis of Polygyny: The Case of Maiduguri. Current Anthropology, 17(4), 701–707. http://www.jstor.org/stable/2741267
Haddad, Lawrence, John Hoddinott, Harold Alderman, dan DEC. (1994). Intrahousehold Resource Allocation : An Overview. Policy Research Working Paper Series, Policy Research Working Paper Series, , Februari. https://ideas.repec.org//p/wbk/wbrwps/1255.html.
Hill, Kenneth, dan Dawn M. Upchurch. (1995). Gender Differences in Child Health: Evidence from the Demographic and Health Surveys. Population and Development Review 21 (1): 127–51. https://doi.org/10.2307/2137416.
Jansen, N., & Agadjanian, V. (2020). Polygyny and intimate partner violence in Mozambique. Journal of Family Issues, 41(3), 338–358. https://doi.org/10.1177/0192513X19876075
Jewkes, Rachel. (2002). Intimate Partner Violence: Causes and Prevention. Lancet. 359. 1423-9. 10.1016/S0140-6736(02)08357-5.
Katz, L. F., & Gottman, J. M. (1991). Marital discord and child outcomes: A social psychophysiological approach. In J. Garber & K. A. Dodge (Eds.), The development of emotion regulation and dysregulation (pp. 129–155). Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/CBO9780511663963.008
Kaunza, M.K., BaAn, M.T., Agana, T.A. and Millar, D. (2022) Negotiation-Space for Gender Household Decision Making in Polygamous Homes in Rural Northern Ghana. Open Access Library Journal, 9: e8890. https://doi.org/10.4236/oalib.1108890
Klomegah, R. (1997). Socio-economic characteristics of ghanaian women in polygynous marriages. Journal of Comparative Family Studies, 73-88.
Lee, B. H., & O’Sullivan, L. F. (2019). Walk the Line: How Successful Are Efforts to Maintain Monogamy in Intimate Relationships?. Archives of sexual behavior, 48(6), 1735–1748. https://doi.org/10.1007/s10508-018-1376-3
Molitoris, Joseph, Kieron Barclay, dan Martin Kolk. (2019). When and Where Birth Spacing Matters for Child Survival: An International Comparison Using the DHS. Demography 56 (4): 1349–70. https://doi.org/10.1007/s13524-019-00798-y.
Møller, V. and Welch, G.J. (1985). Polygamy and well-being among Zulu migrants. Centre for Applied Social Sciences: University of Natal.
Omariba, D. Walter Rasugu, dan Michael H. Boyle. (2007). Family Structure and Child Mortality in Sub-Saharan Africa: Cross-National Effects of Polygyny. Journal of Marriage and Family 69 (2): 528–43.
Pauline Rossi. (2018). Strategic Choices in Polygamous Households: Theory and Evidence from Senegal, The Review of Economic Studies, Volume 86, Issue 3, May 2019, Pages 1332–1370, https://doi.org/10.1093/restud/rdy052
Pesando, L.M., Berhman, J., & Kohler, H. (2019). The Demography of Polygyny in Sub-Saharan Africa: Trends, Compositional Effects, and Implications for Inequality. Polygyny_LMP_JAB (populationassociation.org)
Pew Research Center. (2020). Polygamy is rare around the world and mostly confined to a few regions. Pew Research Center. Retrieved March 25, 2023, from https://www.pewresearch.org/fact-tank/2020/12/07/polygamy-is-rare-around-the-world-and-mostly-confined-to-a-few-regions/
Seccombe, K. (2000). Families in poverty in the 1990s: Trends, causes, consequences, and lessons learned. Journal of Marriage and Family, 62 (4), 1094-1113.
Shaiful Bahari, I., Norhayati, M. N., Nik Hazlina, N. H., Mohamad Shahirul Aiman, C. A. A., & Nik Muhammad Arif, N. A. (2021). Psychological impact of polygamous marriage on women and children: a systematic review and meta-analysis. BMC pregnancy and childbirth, 21(1), 823. https://doi.org/10.1186/s12884-021-04301-7
Smith-Greenaway, E., & Trinitapoli, J. (2014). Polygynous contexts, family structure, and infant mortality in sub-Saharan Africa. Demography, 51(2), 341–366.
Strassmann, B. (2017). Polygyny, Family Structure, and Child Mortality: An Anthropological Perspective. 10.4324/9781351329200-5.
Tertilt, Michèle. (2005). Polygyny, Fertility, and Savings. Journal of Political Economy 113 (6): 1341–71. https://doi.org/10.1086/498049.
Thomas, Duncan. (1990). Intra-Household Resource Allocation: An Inferential Approach. The Journal of Human Resources 25 (4): 635–64. https://doi.org/10.2307/145670.
Yasin, F., Firdaus, R., & Jani, M. (2013). Islamic Education: The Philosophy, Aim, and Main Features. International Journal of Education and Research, 1, 1-18.
Yi, Junjian, James J. Heckman, Junsen Zhang, dan Gabriella Conti. (2015). Early Health Shocks, Intra-household Resource Allocation and Child Outcomes. Economic journal (London, England) 125 (588): F347–71. https://doi.org/10.1111/ecoj.12291.
Zajonc, R. B., dan Gregory B. Markus. (1975). Birth order and intellectual development. Psychological Review 82: 74–88. https://doi.org/10.1037/h0076229.